Tuesday, October 13, 2015

Terlalu Banyak Penghalang di Antara Kita #CumaNaksirUnite

Kata orang, cinta yang menyakitkan adalah cinta yang tak dapat diungkapkan. Namun bagiku, cinta yang menyakitkan adalah… cinta yang tidak dapat dinikmati secara bebas, karena terlalu banyak hal yang menghalanginya.

Aku mengenalnya setahun silam, di suatu komunitas rekan satu profesi. Saat itu aku baru bergabung, dan ia telah menjadi senior di sana. Walaupun ia bergabung hanya beberapa bulan sebelumku, namun ia telah dipercaya memegang jabatan sebagai Ketua, karena konon katanya ia yang terbaik di antara kami semua.

Terbaik. Itulah kata kunci mengapa sejak awal aku tertarik padanya. Selain karena fisiknya yang, ehm, lumayan, dan dia berkacamata (iya, aku suka pria berkacamata), matanya berbinar saat pertama kali kami berkenalan. Jabat tangannya erat, senyumnya hangat. Harumnya khas, membuat siapapun nyaman didekatnya. Cara bicara dan pola pikirnya benar-benar menunjukkan bahwa ia yang terbaik, walau usianya masih terbilang muda. Namun buruknya ia terkesan agak sombong dan sangat perfeksionis.

Suatu senja di bulan Januari, tiba-tiba dia menyapaku di layar chat.

“Sore, Key.. Tumben OL :)”
“Hahahaa.. Iya nih mas, iseng sambil browsing :D” balasku.
“Haduh, jangan panggil mas dong, Key.. Emang saya udah keliatan tua banget ya?”
Sejak itu obrolan kami mengalir lancar, sampai tak terasa malam melarut. Esok dan esoknya pun kami sering berjumpa di dunia maya. Bertukar cerita yang seakan tak ada habisnya. Interaksi kami memang jauh lebih intens di dunia maya, karena waktu kami yang sedikit serta pertemuan rutin komunitas kami yang hanya 2 minggu sekali. Dari percakapan-percakapan kami itulah aku mulai mengenalnya lebih dekat. Ia peraih IPK tertinggi di angkatannya - nyaris sempurna, mahasiswa kesayangan dosen, selain itu ia juga aktif di klub basket kampusnya dan sempat meraih predikat MVP di beberapa pertandingan yang ia ikuti. Sampai saat ini ia masih aktif membina klub basket SMAnya dahulu dan memberi bimbingan belajar untuk adik dan teman-teman adiknya. Tak heran jika saat ini ia dipercaya sebagai manajer termuda di kantornya.

Semakin lama dekat dengannya, rasa kagumku pun semakin meningkat. Namun aku bertekad tak mau melebihkan perasaan itu padanya. Selain karena dia sudah punya kekasih - yang selevel dengannya, tentu saja, aku pun sudah punya tambatan hati yang kini sedang melanjutkan S2nya di negeri seberang. Dan yang paling penting diantaranya adalah kami memiliki keyakinan yang berbeda. Jadi, sedekat apapun kami, aku berusaha untuk membatasinya agar tak lebih dari sahabat.

Sabtu malam yang cerah. Saat itu aku berada di resepsi pernikahan teman komunitasku. Kami datang berdua, karena kekasihnya sedang bertugas ke luar kota dan aku sudah pasti sendiri. Seusai makan ia mengambilkan minuman untukku dan mengajakku duduk di dekat taman. Kami asyik bercakap-cakap, kemudian tiba-tiba ia bertanya,
“Key, menurut lo, gue tuh orangnya kayak gimana sih?”
“Eh tumben nanya gitu, hahaa.. Emang kenapa, Fan?”
“Ngga apa-apa sih, pengen tau aja gimana pendapat orang lain tentang gue.. Boleh, kan?” Ujarnya sambil memainkan mata. Aku tertawa.
“Hahahaa.. Tumben mau peduli pendapat orang lain,” ujarku. Aku katakan semua yang aku rasa tentang dia saat pertama mengenalnya, dan aku pun bertanya tentang hal yang sama.
“Yakin mau tau?” Ujarnya sambil tersenyum.
“Yaiyalaaah.. Gantian doong,” kataku. Kemudian kami berdua terdiam. Dia tersenyum.
“Sebenernya banyak, Key.. Tapi semua itu bisa diwakili dengan satu kalimat,” katanya.
“Apa?”
“Gue seperti jatuh cinta pada pandangan pertama sama lo, tapi dalam lingkup persahabatan.”
Aku terperangah mendengarnya. Dia? Bicara itu ke aku? Seorang Ifan bisa bicara seperti itu?

Sejak saat itu kami semakin dekat. Tidak hanya di dunia maya, kami pun mulai dekat di kehidupan nyata. Kami sering pulang dan pergi ke pertemuan komunitas berdua, makan berdua, sekedar jalan dan curhat sambil ngopi, dan lain lain. Tak memungkiri, rasa sayang itu tumbuh di hatiku dan hatinya. Kami mengganti penggunaan ‘lo-gue’ dengan 'aku-kamu’, lebih memperhatikan satu sama lain, mencuri-curi waktu untuk bersama, bahkan pernah sekali waktu ia menggandeng mesra tanganku.

Kedekatan kami mulai tercium rekan komunitas lainnya, dan sedikit menjadi bahan gosipan mereka. Indy, sahabatku di komunitas itu pernah menegurku.
“Key, lo sama Ifan ada hubungan apa sih sebenernya?”
“Sahabat,” kataku sambil menyisir rambut. Saat itu kami berada di toilet wanita di seminar profesiku.
“Yakin? Deket banget, hahaa.. Anak-anak kan mulai ngegosipin lo tau.”
“Yakiiin.. Dia tuh bagi gue, sama kayak lo, Priska, Meta, Raka, Dani, Rian, dan yang laen-laen.”
“Hahahaa.. Iya gue percaya.. Tapi tau ngga, lo berdua tuh kayak ada chemistry-nya loh.. Dia keliatan beda kalo memperlakukan lo, apalagi lo tau kan dia susah deket ama cewek, ama cowok aja susah, sukanya sendiri. Tapi kalo ama lo tuh lain sikapnya.. Lebih sweet.. Inget Rafa, lagi sekolah jauh-jauh demi masa depannya, demi lo.. Si Ifan juga udah punya cewek kan.. Lagipula Tuhan memang satu, kalian yang berbeda.. Gue gak mau lo salah ambil keputusan Key, lo sahabat gue, gue ga mau lo salah jalan dan nyesel akhirnya..”
Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum. Aku belum ingin ada orang lain yang mengetahui hal sebenarnya tentang aku dan dia, termasuk sahabatku.

Semakin lama kami semakin terlarut dalam kesemuan ini. Walau tak pernah terucap, sikap kami makin menguatkan bahwa kami saling sayang. Omongan orang-orang semakin santer terdengar. Aku semakin sadar, semua ini salah. Aku tak mau memainkan hati Rafa, juga tak mau menyakiti hati pacar Ifan. Selain itu, kepercayaan yang berbeda semakin menguatkan rasa bersalahku. Semakin dekat kami, semakin resah aku rasakan.

Akhirnya, tanpa pembicaraan apapun, aku dan dia semakin menjauh. Apalagi pekerjaanku yang semakin sibuk menuntut banyak waktuku dan membuatku jarang hadir di pertemuan rutin komunitas. Kuliah Rafa sebentar lagi selesai, dan dia akan pulang ke Indonesia. Tanpa mengucap kata berpisah, kami telah berpisah dengan sendirinya. Setiap bertemu dengannya, kami hanya bertegur sapa dan berbincang hal umum, biasa saja. Dan tanpa mengucap kata sayang, kami tahu - kami pernah saling sayang, dan pernah berusaha menikmatinya walau banyak hal yang menghalangi, dan akhirnya hilang juga.


NB: Cerita ini dibuat untuk mengikuti kontes menulis #cumanaksirunite yang diadakan kak @hurufkecil .

30 Desember 2011

No comments:

Post a Comment